BAB 7
Mata Clara
mengerjap-ngerjap menyesuaikan cahaya lampu yang terasa menusuk matanya.
Tubuhnya terasa nyaman, tapi kepalanya terasa sedikit pusing. Clara mencoba
mengamati sekitarnya dan langsung terduduk di atas tempat tidur. Clara
memerhatikan sekelilingnya dan menyadari kalau saat ini ia berada di kamar
tidurnya.
Clara menundukkan kepala
dan melihat tubuhnya yang sudah berganti menjadi pakaian rumah. Matanya pun
terbelalak dan takut. Ya, Tuhan. Apa Mr. Golden yang gantiin bajuku? tanya
Clara panik. Clara memeluk tubuhnya yang mulai terasa dingin dan mencoba
mengingat kembali apa yang terjadi pada dirinya. Ia berusaha keras untuk
mengingat, tapi yang ia ingat hanya saat-saat di mana Mr. Golden memaksanya
untuk minum minuman yang terasa sangat memabukkan.
Clara turun dari tempat
tidur, lalu berjalan keluar dari ruang tidurnya. Apartemennya yang tidak
terlalu besar namun tertata rapi adalah satu-satunya tempat tinggal yang ia
miliki. Satu-satunya harta yang ayah tinggalkan untuknya. Clara berjalan menuju
pintu apartemen dan memeriksanya. Pintu itu masih terkunci.
Clara tidak tahu bagaimana
caranya ia kembali ke apartemen ini atau apa yang sudah Mr. Golden lakukan
padanya. Ia benar-benar tidak ingat.
Ia pun memeriksa kamar
tidur yang satunya. Perlahan-lahan ia membuka pintu kamar tidur yang berada di
sebelah kamar tidurnya. Tapi tetap saja ia tidak menemukan siapapun atau lebih
tepatnya ia sangat berharap menemukan Mr. Golden di ruangan itu. Clara menutup
pintu kamar itu, lalu berjalan menuju kamar tidurnya. Matanya langsung tertuju
pada jam dinding di kamarnya.
"Astaga! sudah jam
setengah sembilan," ucap Clara histeris.
Dengan cepat ia melangkah
menuju kamar mandi, menanggalkan pakaiannya, dan mandi secepat kilat. Setelah
mandi, Clara mengambil pakaian kerjanya yang hanya berupa kemeja lengan pendek
berwarna hijau toska, celana bahan berwarna hitam, dan sepatu heels berwarna
senada.
Clara memoles wajahnya
dengan riasan sederhana dan berharap ia memiliki waktu untuk kembali merias
wajahnya lagi saat tiba di kantor. Rambutnya sengaja ia ikat kuncir kuda karena
ia sudah tidak memiliki waktu lagi untuk merapikan atau mempercantik rambutnya.
Clara sedikit kelabakan saat mencari tas kerjanya karena ia sama sekali tidak
membawa tas itu saat ia makan malam dengan Mr. Golden.
Meskipun rasa lega
meliputi hatinya saat melihat tas kerjanya yang tergeletak begitu saja di atas
meja makannya, tetap saja rasa penasaran dan bingung mulai melanda dirinya. Ia
semakin yakin kalau Mr. Golden yang mengantarnya ke apartemen dan mengganti
pakaiannya, serta meletakkan barang-barangnya. Wajah Clara mulai merona
membayangkan Mr. Golden yang dengan leluasa mengganti pakaiannya.
Dengan cepat Clara
menggelengkan kepala dan menghapus pikiran kotor itu. "Kerja, Ra.
Kerja," ucap Clara pada dirinya sendiri, berusaha keras menjaga
kewarasannya.
Clara melangkah menuju
pintu, membukanya, lalu mengunci pintu apartemennya sebelum melangkah cepat
menuju pintu lift. Untung sekali pintu lift langsung terbuka, ia pun segera
masuk, dan menekan tombol lantai dasar.
Ponselnya berbunyi dengan
sangat keras, mengejutkan dirinya yang terlalu serius memandangi layar angka
lift. Ia mengabaikan panggilan itu dan langsung melangkah keluar saat pintu
lift terbuka. "Selamat pagi, Mba Clara," sapa si satpam apartemen yang
menatapnya dengan pandangan aneh dan bingung. Clara mencoba untuk tidak
menggubris pandangan itu, hanya melemparkan senyum ramah yang biasa ia lakukan
setiap hari.
Suara ponselnya berdering
lagi, Clara langsung mengeluarkannya dari tas kerja, lalu melihat siapa si
penelepon yang begitu ingin sekali berbicara dengannya.
"Apa, Tam?"
sahut Clara cepat.
"Siang ini lo ada
kegiatan nggak?" tanya Tamara dengan suaranya yang riang.
"Gue 'kan kerja, Tam.
Jangan aneh-aneh, deh," tolak Clara sambil berjalan melalui pintu apartemen.
"Lo kerja?"
tanya Tamara bingung dengan jawaban Clara.
"Emang lo nggak
kerja? Lo ijin lagi?" tanya Clara sedikit berlari menunju gerbang
apartemen. Ia pun berhenti di depan gerbang dengan napasnya terengah-engah dan
mulai panik karena karena tak ada satu pun taksi di sana.
"Hah?? Ini
'kan hari Minggu, Ra. Emang lo kerja juga hari ini?" tanya Tamara.
Seakan diguyur oleh
seember air es, Clara berdiri kaku dan terlihat seperti orang paling bodoh
sedunia. "Hari Minggu?" ulang Clara bingung, masih mencoba mengatur
napasnya yang terengah-engah.
"Astaga ... jangan
bilang lo sekarang lagi berdiri di depan gerbang sambil nyari taksi,"
tebak Tamara yang tepat sasaran.
Clara tidak menjawab
pernyataan itu dan mulai tertunduk malu. Pantas saja tadi satpam itu
kebingungan melihatku terburu-buru, gerutu Clara dan wajahnya seketika
merona merah.
"Hahahaha."
Terdengar suara tawa kencang dari seberang sana. Clara bisa membayangkan betapa
bahagianya Tamara saat ini dan ia tahu sekali bagaimana ekspresi temannya yang
satu itu.
Setelah puas menertawai
Clara, akhirnya Tamara berhenti meski sesekali terdengar suara tawa yang
berusaha ditahan oleh wanita itu. "Gue jemput sekarang, deh. Daripada
lo balik lagi ke apartemen," ucap Tamara menawarkan bantuan.
"Mau ke mana?"
tanya Clara cepat.
"Temenin gue
jalan-jalan," jawab Tamara santai.
"Baiklah. Gue tunggu
di taman apartemen, ya. Jangan lama-lama," pesan Clara.
"OK. Gue meluncur
sekarang," jawab Tamara sebelum memutuskan pembicaraan mereka.
Clara memasukkan ponsel ke
dalam tas kerjanya, lalu memutar badannya, dan berjalan menuju taman apartemen
yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Hah ... ada-ada saja, batin Clara.
∞∞∞∞∞
Matahari mulai terasa
terik, Jack keluar dari kolam renang pribadinya, kemudian berjalan menuju meja
kecil berwarna putih yang ada di samping kursi panjang berwarna senada. Jack
mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja itu, lalu mengusap layarnya, dan
melihat tak ada satupun pesan atau panggilan masuk untuknya. Jack berdiri
gelisah sambil memandangi layar ponselnya.
Pagi tadi, ia bangun
dengan keadaan gelisah. Bayangan akan kelembutan bibir Clara saat menyentuh
bibirnya seakan membuat Jack tidak bisa mengontrol pikirannya. Ia tidak tahu
kenapa bayangan itu terus mengisi pikirannya. Jack tidak menyangka begitu besar
pengaruh bibir itu terhadapnya. Entah sudah berapa bibir wanita ia rasakan,
tapi saat ia mengulum bibir itu sebuah sengatan nikmat membuat dirinya
melayang.
Setelah sarapan, Jack
memutuskan untuk berenang, bukan sekedar berolah raga tapi juga untuk
menjernihkan pikirannya yang terus memutar kejadian semalam. Pikirannya pun
dipenuhi oleh rencananya agar bisa bertemu dengan Sasha. Dan saat ini, Jack
sedang menunggu laporan dari Alfons.
Jack duduk di kursi
panjang, meneguk segelas perasan jus jeruk murni yang terasa segar di bawah
teriknya matahari. Kemudian Jack merebahkan tubuhnya, memejamkan mata dan
parahnya ingatan akan bibir Clara kembali teringat.
Setelah menunggu dengan
penuh kesabaran, akhirnya ponsel itu pun berdering. "Bagaimana?"
tanya Jack cepat tanpa basa-basi.
"Saya sudah
berbicara dengan wanita bernama Desi. Ia mengatakan kalau Sasha masih berada di
Bali mengurus sebuah pernikahan. Rencananya Sasha akan kembali malam ini, Sir,"
jawab Alfons dari seberang sana.
"Kau punya nomor
ponselnya?" tanya Jack.
"Ada, Sir,"
jawab pria itu cepat.
"Hubungi Sasha dan
minta secara langsung agar wanita itu menangani acara kita. Jangan sampai salah
bicara dan pastikan wanita itu yang datang, bukan yang lain," perintah
Jack.
"OK, Sir,"
sahut Alfons cepat.
"Saya tunggu
laporanmu secepatnya," ucap Jack sebelum ia memutuskan panggilan itu.
Jack meletakkan ponselnya
kembali di meja lalu mengambil handuk besar berwarna merah yang terasa begitu
lembut menyentuh kulitnya. Jack beranjak dari kursi, lalu melingkarkan handuk
tersebut di pinggangnya setelah ia mengeringkan tubuhnya. Kemudian ia berjalan
masuk ke dalam rumahnya, berencana untuk menemui Damian siang ini.
"Triam, siapkan
mobil. Saya mau keluar," perintah Jack pada Triam yang baru saja keluar
dari ruang dapur.
"Baik, Mr.
Golden," jawab Triam patuh.
Jack berjalan menuju
lantai dua, segera masuk ke kamarnya, lalu menuju kamar mandi, dan memutuskan
untuk berendam sejenak di bathtube.
∞∞∞∞∞
"Gimana lembur
kemarin? Emang kerjaan lo banyak banget, ya?" tanya Tamara yang duduk
tepat di seberang Clara.
Mereka sedang asik
menikmati sarapan yang terlambat di salah satu restoran cepat saji. Mendengar
pertanyaan Tamara membuat Clara kehilangan nafsu makannya. "Lumayan,"
jawab Clara singkat mencoba untuk terlihat santai, meskipun sebenarnya ia masih
bertanya-tanya bagaimana kejadian yang sebenarnya. Ingin rasanya ia menghubungi
Mr. Golden dan bertanya pada pria itu. Tapi, ia tidak berani karena Clara tidak
ingin dianggap sebgai wanita yang berprasangka buruk pada atasannya.
"Bos lo galak, ya?
Kok sampai segitunya nyuruh lo lembur," tanya Tamara sedikit protes.
Clara mengangkat bahunya,
tidak menjawab pertanyaan itu dengan jelas. Saat ini ia tidak ingin
membicarakan tentang Mr. Golden. Clara mencoba untuk melupakan apa yang terjadi
semalam, meskipun sebenarnya ia tidak terlalu ingat apa yang sudah terjadi.
Clara memasukkan makanannya dengan malas, lalu mengunyahnya begitu saja.
"Kok lo ogah-ogahan
gitu, sih? Ada masalah?" tanya Tamara penasaran.
"Nggak ada, Tam. Gue
lagi nggak enak badan aja," jawab Clara lemas.
"Lo sakit?"
tanya Tamara yang langsung menekankan punggung tangannya ke dahi Clara.
"Nggak panas,
kok," lanjut Tamara.
"Gue nggak kenapa-kenapa.
Gue cuma malas aja hari ini," jawab Clara jujur.
"Oh, iya. Jam satu
nanti mantan bos lo ngundang beberapa karyawan makan siang di restoran. Katanya
sih mau ngomongin acara family gathering yang akan diadakan
bulan depan," jelas Tamara.
"Terus apa
hubungannya sama gue? 'Kan gue nggak kerja di situ lagi," protes Clara.
"Nggak ada
hubungannya sama lo. Gue cuma minta lo buat temenin gue, karena gue kudu hadir
di sana. Wajib soalnya," jelas Tamara dengan wajah sedikit memelas.
"Ini bukan cara lo
buat ketemuin gue sama dia, kan?" tanya Clara cepat karena ia tahu
temannya yang satu ini begitu bersemangat untuk menjodohkannya dengan mantan
atasannya yang sebenarnya sudah memiliki seorang istri.
"Nggak kok,"
sanggah Tamara cepat.
Clara memicingkan matanya,
berusaha mencari kebohongan di wajah temannya itu. Hembusan napas panjang
menandakan betapa pasrahnya Clara terhadap rencana gila yang mungkin ada dalam
pikiran Tamara. "OK, gue ikut. Tapi, gue mau ganti baju dulu, udah sedikit
keringetan soalnya. Ini acaranya formal atau santai?" tanya Clara pasrah.
"Nggak terlalu
formal, sih. Rencananya gue cuma pakai baju semi formal supaya selesai acara
kita bisa langsung nonton film," jawab Tamara santai.
"Oh, iya. Film yang
waktu itu lo bilang udah keluar kemarin, ya?" tanya Clara.
"Iya. Dan lo harus
ikut gue nonton. Gue jamin film nya pasti seru," ajak Tamara sedikit
memaksa.
"OK. OK," jawab
Clara.
Mereka pun kembali
menikmati sarapan mereka dan segera menghabiskannya.
∞∞∞∞∞
Clara mengenakan kemeja
putih berlengan tiga per empat dan rok pensil berwarna cokelat muda yang
melekat indah dengan potongan setengah paha. Ia menggerai rambutnya dan
memoleskan riasan sederhana. Sepatu heels
berwarna cokelat muda menyempurnakan penampilannya.
Tamara, yang sudah siap
dengan penampilannya yang sempurna, membuat Clara sedikit minder. Tapi dengan
cepat ia menepis rasa itu dan menghampiri temannya yang sedang duduk santai
sambil menonton TV di ruang tamunya. Tamara menoleh ke arah Clara saat ia
keluar dari kamar.
"Kenapa lo harus
terlihat cantik tanpa harus berdandan lebih?" puji Tamara yang langsung
beranjak dari sofa minimalis berwarna hitam, mematikan TV, dan meletakkan remote
control di sofa begitu saja.
"Lebay lo, Tam,"
sanggah Clara dengan rona merah yang mulai mewarnai pipinya.
"Gue yakin si tampan
bakalan terpesona," puji Tamara lagi.
Clara mendengus dan
melemparkan tatapan sinis ke arah temannya itu. "Gue ke sana buat nemenin
lo, ya. Bukan buat ketemuan sama dia," jelas Clara cepat. Ia tidak ingin
terjadi sebuah kesalahpahaman, terutama dengan status mantan atasannya yang
sudah memiliki seorang istri.
"Ya, ya, ya. Pokoknya
lo perfect," puji Tamara sambil menggandeng tangan Clara
dengan manja.
Clara melirik tajam ke
arah Tamara dan berpikir bahwa ini hanyalah salah satu rencana busuk Tamara
untuk membujuknya kembali ke kantornya yang dulu. Atau jangan-jangan
mereka berdua sudah merencanakan hal ini? pikir Clara sambil berjalan
keluar dari apartemen kecilnya. Mereka masuk ke dalam lift yang langsung
membawa mereka ke lantai dasar.
"Siang, Mba
Clara," sapa satpam apartemen dengan senyum merekah.
Clara membalas senyum itu
dan melenggang begitu saja. "Tuh, kan. Apa gue bilang? Lo cantik -"
"Dia tiap hari dia
emang nyapa setiap pemilik apartemen seperti itu. Nggak usah lebay, deh!"
gerutu Clara sambil menarik tangan Tamara agar bergerak lebih cepat menuju
mobil yang terparkir di lahan parkir apartemen.
∞∞∞∞∞
Acara makan siang itu
berjalan lancar. Clara, yang tadinya berencana untuk duduk di meja yang
terpisah, terpaksa duduk di meja panjang bersama dengan beberapa orang yang
sudah ia kenal. Mereka benar-benar membahas acara family gathering,
tidak seperti apa yang sebelumnya Clara pikirkan. Pak Timothy, mantan
atasannya, terlihat senang saat melihat kehadiran Clara di restoran itu.
Senyumnya yang khas dan sifat ramah yang selalu pria itu berikan pada setiap
karyawannya tidak pernah lepas dari diri Pak Timothy.
Clara duduk di samping
Tamara, sedangkan Pak Timothy duduk tepat di seberangnya. Clara mencoba dengan
sangat kuat untuk tidak menggubris lirikan ataupun tatapan hangat yang pria itu
berikan padanya. Clara mencoba mengalihkan perhatiannya dari pembicaraan
rencana acara itu sambil bermain dengan ponselnya. Sesekali Clara mendengar Pak
Timothy yang berbicara menginterupsi pembicaraan dan memberikan beberapa
masukan untuk acara tersebut.
"Gue ke toilet
bentar, ya," bisik Tamara setelah rapat itu diakhiri.
Clara mengangguk dan tetap
duduk di kursinya sambil menunggu Tamara. Seakan berusaha memanfaatkan
kesempatan, Pak Timothy langsung menghampiri Clara dan duduk di kursi Tamara.
"Apa kabarmu, Clara?" tanya Pak Timothy berbasa-basi.
"Baik, Pak,"
jawab Clara ramah.
"Timothy saja. Kamu
'kan sudah nggak kerja sama aku lagi," ucap pria itu dengan senyum
merekah. Clara sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini atau apa yang mungkin
ada di dalam pikiran pria ini. Clara mulai gelisah di kursinya dan berharap
Tamara segera kembali, tapi sepertinya wanita itu sengaja berlama-lama di toilet
dan memberikan waktu buat Pak Timothy agar bisa berbicara berduaan saja
dengannya.
"Kamu ada acara habis
dari sini?" tanya Pak Timothy.
"Ada, Pak,"
jawab Clara singkat.
"Ke mana?" tanya
Pak Timothy ingin tahu.
"Em ... itu ... kami
mau nonton," jawab Clara terlalu polos.
"Aku boleh
ikut?" tanya Pak Timothy menawarkan diri.
"Gimana, ya?"
jawab Clara ragu.
Ia ingin sekali menolak
pria itu, tapi Clara tidak ingin melukai perasaan Pak Timothy. Setidaknya pria
ini pernah menjadi atasannya selama dua tahun. Clara menoleh ke arah di mana
Tamara menghilang dengan alasan pergi ke toilet dan berharap wanita itu mulai
menunjukkan batang hidungnya.
"Bagaimana di
kantormu yang baru? Apa kamu nyaman?" tanya Pak Timothy.
"Nyaman, Pak,"
jawab Clara berbohong.
"Timothy saja. Jangan
pakai 'Pak'. Aku nggak terlalu suka," sanggah Pak Timothy.
Clara tidak menolak
ataupun menerima ucapan itu. Ia berusaha menganggap kalau apa yang pria itu
ucapkan hanya sekedar sikap santai dan ingin berteman. Dia ini sudah
punya istri, mana mungkin dia berharap lebih dariku? pikir Clara,
masih dengan sikap tenangnya.
Tamara benar-benar lama,
entah apa yang wanita itu lakukan sampai harus berlama-lama di toilet.
Tiba-tiba ponsel Clara bergetar dan dengan cepat ia mengusap layar ponselnya,
membaca sebuah pesan yang masuk dari Tamara.
'Sorry, Ra. Tadi gue
ketemuan sama teman SMA terus keasikan ngobrol. Kita ketemuan di mall sebelah,
ya. Tiketnya udah gue beli, nonton jam setengah empat. Jangan lama-lama, ya,'
Clara mendengus kesal
setelah membaca pesan itu. Jadi ini memang rencana mereka berdua, ya,
gerutu Clara kesal.
"Kenapa, Clara?"
tanya Pak Timothy dengan lembut.
"Oh, nggak
kenapa-kenapa," jawab Clara sambil memasukkan ponsel ke tas tangannya.
"Saya pamit dulu ya,
Pak," ucap Clara seraya beranjak dari kursinya.
"Mau ke mana?"
tanya Pak Timothy ikut beranjak dari kursi.
"Ke mall sebelah,
Pak. Ada janji sama seseorang," jawab Clara lagi dengan kepolosannya yang
luar biasa.
"Aku ikut, ya.
Sekalian mau beli sesuatu," kata Pak Timothy.
Clara tidak bisa menolak
lagi. Mereka pun keluar dari restoran dan berjalan menuju mobil Pak Timothy
yang terparkir tidak jauh dari restoran. Ini semua gara-gara Tamara.
Lihat saja nanti, gerutu Clara yang terpaksa masuk mobil Pak Timothy.
∞∞∞∞∞