Minggu, 14 Januari 2018

BEAUTIFUL MADNESS (21+) - BAB 10



Cerita ini sudah dibukukan.
Untuk pemesanan silakan hubungi :
- Admin (WA) : 0813-8835-8790
- Instagram : sri_harianti_oktaviana
- Wattpad : Oktaviana_vivi

BEAUTIFUL MADNESS (21+) - BAB 9



BAB 9

            Sebuah pesan yang masuk ke ponselnya memecahkan konsentrasi Jack yang sedang serius menonton film. Ia tidak menyangka ternyata film drama bercampur sedikit intrik dan pertikaian bisa menarik perhatiannya. Jack menarik ponsel keluar dari saku celana, lalu mengusap layarnya.
            'Saya sudah berbicara dengan Mba Sasha dan besok beliau akan datang ke acara rapat untuk membicarakan persiapan ulang tahun perusahaan, Sir.'
            Membaca pesan itu, pikiran Jack langsung melayang pada Sasha. Jantungnya berdebar cepat dan ia bisa merasakan antusias yang begitu besar di dalam dadanya.
            'Good. Siapkan bahannya dan besok saya akan hadir juga.'
            Ia mengetik pesan dan langsung mengirimkan pesan itu pada Alfons. Tak disadari seringai kecil melengkung di wajahnya. Jack memasukkan ponsel ke sakunya dan kembali memusatkan perhatiannya ke film yang sedang diputar.
            Wanita, yang entah siapa namanya, memeluk tangan Jack dengan mesra, dan merebahkan kepala mungil itu di bahunya. Sesuatu yang berkobar dalam dirinya, tidak terlalu besar, tapi setidaknya ia bisa merasakan sebuah percikan gairah yang seakan menghilang selama beberapa hari ini.
            Tanpa ragu, Jack menoleh ke arah wanita yang duduk di sampingnya. Ia memerhatikan wajah yang terlihat cukup cantik dengan rambut tertata rapi. Sebuah tanktop berwarna cokelat dengan lingkar leher yang sangat rendah menunjukkan belahan payudara yang sangat menantang. Hot pants sepangkal paha pun seakan mengundang tangannya untuk mengelus dan merasakan betapa lembut kulit wanita itu.
            Jack pun mulai meletakkan tangannya di paha wanita itu dan benar saja, wanita itu terlihat senang sekaligus menunduk malu. Tidak menolak sedikit pun pada setiap belaian yang ia berikan. Ia tahu apa yang ada di pikiran wanita itu dan Jack akan segera memuaskan dirinya dengan tubuh indah ini.
            Belaian tangan Jack pun mulai naik ke atas, dari lutut ke paha hingga menyentuh lipatan daerah selangkangan wanita itu. Ia mulai memainkan jemarinya, membelai serta menekan jemarinya di daerah kewanitaan yang masih terhalang oleh celana dengan caranya yang lihai. Tubuh wanita itu pun mulai mengejang sekaligus menikmati setiap gesekan yang Jack berikan.
            Suara erangan kecil pun keluar begitu saja, membuat Jack menoleh dan menatap wajah wanita itu. Mata itu terpejam, menikmati setiap belaiannya. Tangan Jack yang satunya pun mulai membelai tengkuk wanita itu. Untung sekali Damian mengambil posisi tempat yang paling sudut  dan hanya berisi empat kursi sehingga Jack bisa melancarkan kegilaannya yang sudah ia tahan sejak semalam.
            Perlahan Jack menarik turun resleting celana wanita itu, sedangkan tangannya yang lain mulai merambat turun ke belahan payudara yang begitu menantang. Tubuh wanita itu mulai menggeliat gelisah dan Jack semakin melancarkan tangannya dengan lihai. Jack mulai menurunkan kedua tali tanktop dan membiarkannya terongok begitu saja di lengan wanita itu.
            Jack mulai menyelipkan tangannya dari bawah dan masuk begitu saja di balik tanktop itu. Sama seperti apa yang ia duga, wanita ini memang tidak menggunakan bra sama sekali, hanya menggunakan penutup berupa silikon tipis untuk menutupi ujung payudaranya. Tanpa banyak bertanya, Jack melepaskan penutup itu dan mulai bermain dengan puncak payudara yang sudah menegang dan keras.
            Desahan nikmat menunjukkan betapa pasrahnya wanita itu di tangannya. Ia pun mulai membuka kaitan celana wanita itu, memasukkan jarinya ke dalam celana, kemudian membuka sedikit tali G-String itu, lalu jemarinya pun mulai bermain di puncak kewanitaan yang sudah terasa lembab dan basah.
            Seakan terbiasa di gerayangi oleh pria, wanita itu pun mulai membuka kakinya, memberikan jalan masuk pada jari Jack agar bisa bergerak dengan leluasa. Jack pun mulai memperdalam sentuhannya dan memasukkan jarinya tanpa ragu ke dalam kewanitaan itu.
            Suara film yang begitu menggelegar menutupi desahan nikmat yang keluar dari bibir wanita itu. Tangannya yang lain pun semakin liar dan menurunkan tanktop itu semakin ke bawah hingga memperlihatkan salah satu payudara yang begitu tegang dan menantang. Jack memiringkan posisi duduknya dan tanpa pikir panjang, Jack langsung bermain dengan payudara itu, mengulum dan mengisapnya hingga membuat wanita itu menggeliat kenikmatan.
            Wanita ini pun mulai menurunkan seluruh tanktop dan membuat kedua payudara itu terbuka bebas. Wanita itu begitu terangsang hingga tangan wanita itu bermain-main dengan payudaranya sendiri, menarik dan memilin puncak payudara sendiri sementara Jack bermain dengan payudaranya yang lain.
            Jari Jack yang masih berada di dalam kewanitaan yang sangat basah itu terus bergerak tanpa henti. Jack benar-benar menikmati saat-saat seperti ini. Saat di mana wanita bertekuk lutut dan menyerahkan diri padanya dengan pasrah.
            Gerakan tangan Jack pun semakin liar dan ia tahu sebentar lagi wanita itu akan mencapai klimaksnya. Dengan cepat Jack mengeluarkan tangannya dari kewanitaan itu dan membiarkan wanita itu terperangah menatapnya. Terengah-engah.
            "Slowly, Baby. I don't wanna make you scream here. I wanna feel you, too. I wanna make you scream again and again," bisik Jack di telinga wanita itu.
            Dengan cepat, wanita itu membereskan pakaiannya dan menempelkan payudaranya di lengan Jack saat wanita itu memeluk tangannya. "Bagaimana kalau kita pergi sekarang?" bujuk wanita itu.
            Jack langsung berdiri, menarik tangan wanita itu, dan mencoba keluar dari barisan kursi mereka. "Ke mana?" tanya Damian denga wajah penasaran.
            "I wanna fuck her," jawab Jack singkat.
            Damian melemparkan senyum bangga pada Jack dan ia pun melenggang keluar dari ruangan bersama dengan wanita asing itu. Ia benar-benar harus menyalurkan gairahnya atau ia akan kembali ke rumah dan bermain dengan dirinya sendiri. Hal yang sangat ia benci.
∞∞∞∞∞
            Film yang berlangsung hampir dua jam tersebut benar-benar membuat Clara tersentuh. Pengorbanan dan cinta yang tulus membuat film yang diisi dengan sedikit intrik dan pertikaian tersebut terasa begitu indah. Setidaknya film itu membuat Clara berharap agar dapat menemukan seorang pria yang mampu berkorban demi mempertahankan dirinya.
            Lampu ruangan pun menyala dan satu per satu para penonton berjalan keluar. Mereka pun keluar dari ruangan itu. Kejadian yang tidak terduga saat ia bertemu dengan Mr. Golden benar-benar membuat Clara tertunduk malu. Bukan karena popcorn-nya yang berserakan, tapi karena Pak Timothy menarik tangannya seakan menegaskan kalau ia adalah milik pria itu.
            Ingin rasanya Clara menghempaskan tangan Pak Timothy saat itu, tapi saat ia melihat wanita yang berdiri bergelayut manja di tangan Mr. Golden membuat Clara melemparkan jauh-jauh rasa malunya dan melenggang begitu saja dari hadapan Mr. Golden. Clara tidak peduli, benar-benar tidak peduli dengan siapa Mr. Golden pergi karena pria itu bukanlah miliknya.
            Ia juga tidak peduli apa yang akan pria itu lakukan dengan wanitanya. Dan saat ini, Clara benar-benar bertekad kuat untuk tetap menutup hatinya dan memegang teguh sikap profesionalismenya. Clara berjanji ini terakhir kalinya ia memikirkan Mr. Golden.
            Clara harus tetap fokus pada tujuan utamanya dan berusaha sekuat mungkin agar tak ada hal apapun atau seorangpun yang mampu mengacaukan pikirannya. Mereka pun keluar dari ruangan dan Clara sudah tidak melihat Mr. Golden ataupun temannya itu. Kejadian tadi membuat Pak Timothy seakan begitu melindunginya. Menjaga ke manapun ia berjalan, bahkan semakin menempel padanya.
            Hari mulai gelap, waktu menunjukkan hampir jam enam sore, dan Clara merasa lelah. Besok ia harus segera bangun lebih awal agar bisa menyelesaikan beberapa berkas yang masih belum sempat ia rapikan. "Gue capek, Tam. Pulang, yuk," ajak Clara saat mereka berada di eskalator.
            "Busettt ... ini masih pagi. Si Pak Timothy mau ngajakin kita ke klub malam," celoteh Tamara dengan cepat.
            "What??" sahut Clara cepat sambil menatap Tamara dengan tatapan paling sinisnya.
            Seakan menyadari kesalahan karena sudah bicara terlalu jujur, Tamara langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. "See? Masih mau bilang kalau kalian nggak rencanain ini semua dari awal?? Bener, 'kan?" tuduh Clara kesal.
            Mereka pun menuruni eskalator, lalu berjalan menyusuri barisan toko di sebelah kiri mereka. "Gue kecewa sama lo, Tam," ucap Clara sebelum ia berjalan cepat meninggalkan Tamara di belakangnya.
            "Tunggu, Ra. Please, dengerin gue dulu," mohon Tamara sambil menyusul Clara dan menarik tangannya.
            Clara pun menghentikan langkahnya dan menatap Tamara dengan perasaan jengkel. "Apa? Lo mau jelasin apa lagi?" tanya Clara dengan nada menuntut.
            "Gue terpaksa, Ra. I need money, just like you," jawab Tamara.
            Clara menoleh ke arah Pak Timothy dan teman pria Tamara yang berhenti beberapa langkah dari mereka. Tampaknya para pria itu berusaha menjauh dari mereka dan menyadari bahwa telah terjadi sebuah pertengkaran di antara Tamara dan Clara yang disebabkan oleh Pak Timothy. Sedangkan pria itu terlihat sedang melindungi diri dari luapan kekesalan Clara dengan cara berbincang dengan teman Tamara. Dasar Pengecut! gerutu Clara semakin kesal.
            "You are not like me, Tam. Gue butuh uang, ya gue kerja. Bukannya mengharapkan uang dengan cara mengorbankan teman sendiri!" semprot Clara yang langsung membuat Tamara terperangah.
            Wajahnya tampak terluka saat mendengar apa yang Clara lontarkan. Ia tahu ini adalah tamparan yang keras bagi Tamara, tapi ia harus melakukan hal ini. Sejak awal, Tamara tahu apa yang selalu ia jaga dari sikap profesionalisme kerja. Tapi, sepertinya Tamara tidak menghargai keputusannya dan tetap menyodorkan Clara pada pria beristri itu. Clara benar-benar marah dan kecewa.
            Tanpa banyak bicara, Clara meninggalkan Tamara begitu saja dengan wajah terperangah. Tapi, tak lama kemudian Clara mendengar suara derap kaki yang mendekat ke arahnya. Clara langsung memutar tubuhnya menatap Tamara yang masih berusaha menyusulnya.
            "Stop, Tam! Gue butuh waktu untuk sendiri," tolak Clara dan melanjutkan perjalanannya.
            Ia berjalan cepat dan berharap segera sampai di pintu keluar mall. Clara menoleh sekali ke belakang dan terkejut melihat Pak Timothy yang ternyata berjalan cepat sedikit berlari mendekatinya. Clara semakin mempercepat jalannya, tapi pria itu memiliki langkah yang lebih besar dan menarik tangan Clara, berusaha menghentikannya.
            "Clara, jangan marah. Ini semua –“
            "Lepaskan!" bentak Clara memotong kalimat pria itu sambil menghempaskan genggaman tangan Pak Timothy.
            "Aku menyukaimu, Clara. Aku benar-benar menyukaimu," ucap Pak Timothy jujur.
            Bukannya merasa tersanjung, ia malah semakin merasa jijik mendengar ungkapan perasaan itu. "Maaf, saya tidak bisa membalas perasaan Anda, Pak," tolak Clara tegas.
            "Aku akan memberikan apa saja untukmu, Clara," bujuk Pak Timothy dengan wajah memelah.
            "Tapi, Anda memiliki istri! Apa Anda tidak memikirkan perasaan istri Anda??" tanya Clara tegas sambil menunjukkan raut wajah ketidaksukaannya pada pria itu.
            Ucapan Clara seakan memberikan tamparan hebat di wajah Pak Timothy. Ia harus melakukan hal ini agar pria itu sadar masih ada wanita di rumahnya yang menunggu suaminya pulang. Clara sudah tidak peduli dengan penilaian mantan bos-nya ini. Sekarang atau tidak sama sekali, pikir Clara dengan penuh tekad.
            "Aku akan menceraikannya, jika itu yang kamu inginkan, Clara," balas Pak Timothy terlihat begitu jujur.
            Mata Clara terbelalak lebar mendengar keputusan gila yang pria itu lontarkan hanya demi memiliki dirinya. Bajingan! gerutu Clara dengan penuh kebencian. Clara langsung membalikkan tubuh,melanjutkan langkahnya.
            "Clara, tunggu!" panggil Pak Timothy sambil mengikuti langkahnya.
            "Berhenti atau saya teriak!" bentak Clara penuh amarah.
            Clara pun kembali menuju pintu utama, memanggil taksi, dan pulang ke apartemen dengan perasaan campur aduk.
∞∞∞∞∞
            Jack terduduk di pinggir tempat tidur saat wanita asing - yang sampai saat ini sama sekali tidak ia ketahui namanya - sedang berada di kamar mandi. Jack benar-benar bingung dengan dirinya sendiri. Bukannya rasa lega yang ia dapat setelah melakukan hubungan seks dengan wanita itu, tapi rasa hampa dalam dadanya terasa semakin kuat dan sangat menyiksa.
            Ia tidak mengerti apa yang salah dengan dirinya dan apa yang harus ia lakukan untuk menghapus kekosongan yang begitu mendominasi dirinya. Jack menikmati hubungan seks dengan wanita manapun, tapi ia terus merasa bahwa ada yang tidak lengkap. Seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya dan ia tidak tahu apa itu.
            "Kamu nggak mandi?" tanya wanita itu dengan lembut saat melangkah keluar dari kamar mandi dengan handuk yang membalut tubuhnya.
            Jack menoleh ke arah wanita itu dan melihat handuk yang melingkar rendah hingga ia bisa melihat lekukan serta belahan payudara yang bulat dan menantang. Ia tidak terangsang lagi dan itu sangat aneh. Jack mengalihkan pandangannya begitu saja dari tubuh wanita itu dan menarik celananya yang tergeletak di lantai.
            Ia beranjak dari tempat tidur lalu dengan cekatan Jack mengenakan celananya. "Kamu sudah mau pergi?" tanya wanita itu sambil menghampiri Jack yang sedang sibuk dengan celananya.
            Tangan wanita itu melingkar di pinggang Jack tanpa rasa malu sedikit pun. Wanita itu mulai membelai perut Jack yang ramping dan merasakan setiap lekuk tubuhnya. Seperti di sengaja, handuk yang melilit tubuh wanita itu pun terlepas dan terongok di lantai.
            Jack bisa merasakan payudara wanita itu menempel di punggungnya dan sesekali menggesek-gesekkan payudara itu hingga Jack bisa merasakan betapa cepatnya debaran jantung wanita itu. Jack menghentikan belaian wanita itu yang mulai terasa begitu liar hingga bergerak ke arah kejantanannya.
            Tangan Jack menggenggam kedua tangan itu lalu melepaskan dirinya dari pelukan wanita itu. "Kamu tidak menginap di sini?" tanya wanita itu lagi sambil memberikan raut wajah kecewa.
            Jack menggelengkan kepala, lalu melepaskan genggamannya dari tangan wanita itu, kemudian melangkah menuju sisi lain kamar, dan mengambil bajunya yang tergeletak di lantai. Wanita ini sepertinya tidak rela membiarkan Jack pergi dan kembali menghampirinya. "Tapi, aku masih ingin bersamamu, Jack,"
            "But, i don't," tolak Jack dengan tegas.
            Wanita ini lebih tegar dibandingkan dengan beberapa wanita yang pernah tidur dengannya. Wanita ini tampaknya masih ingin berhubungan seks dengannya. Dengan kepercayaan diri yang begitu besar sebesar payudara yang terlihat begitu menantang, wanita itu menghampirinya dan menarik tangan Jack lalu mengarahkan tangannya ke arah payudara yang terasa lembut.
            "I want you. Again and again," bujuk wanita itu.
            Jack menangkis dan menghempaskan tangan wanita itu dengan kasar, lalu menatap wanita itu dengan tatapan tajam dan penuh hina. "I don't!" tolak Jack, kali ini suaranya sangat tegas dan sedikit membentak.
            Ia sama sekali tidak pernah berhubungan seks dengan wanita yang sama lebih dari sekali kecuali dengan karyawan genitnya yang sudah menandatangani surat perjanjian dengannya. Tidak akan pernah.
            Jack membiarkan wanita itu terpaku dan menatapnya dengan tatapan terluka, tapi Jack benar-benar tidak peduli. Meskipun wanita itu menangis darah dan bersujud di hadapannya, ia tetap tidak akan peduli. Jack berjalan ke arah pintu kamar hotel tersebut dan mengenakan sepatunya dengan cepat.
            Wanita itu masih berdiri telanjang menatap Jack yang tidak memedulikan perasaan wanita itu. Aku hanya menggunakannya untuk kepuasanku sesaat, jadi jangan pernah berharap lebih, batin Jack sambil sesekali melirik ke arah wanita yang terus memerhatikannya.
            "Thank you for the sex. It's quite fun," ucap Jack datar tanpa perasaan sama sekali sebelum ia keluar dari ruangan itu dan meninggalkan wanita itu sendirian.
            I don't care about other woman's feeling. I only care about Sasha and i can't wait to see her tommorow.
            Jack melangkah dengan pasti dengan seringai kecil mengembang di wajahnya.

∞∞∞∞∞

BEAUTIFUL MADNESS (21+) - BAB 8



BAB 8
           
            "Hai, Bro," sapa Damian di seberang sana.
            "Where are you now?" tanya Jack datar sambil mengusap-usap rambutnya yang basah sehabis mandi.
            "Em ... ini lagi ada kerjaan sedikit," jawab Damian sedikit gugup.
            "Really?" tanya Jack tidak percaya.
            "Yup. What's wrong?" tanya Damian.
            "Nggak ada apa-apa," jawab Jack datar.
            "Kenapa? Wanita yang semalam nggak memuaskan? 'Kan udah gue bilang buat gue aja, Jack. She is not –“
            "Gue ke tempat lo sekarang," potong Jack cepat. Ia tidak ingin membahas tentang Clara. Jack tidak butuh seseorang untuk mengingatkan dirinya betapa wanita itu bukanlah tipe wanitanya. Ia juga tidak butuh disadarkan tentang betapa bodoh hal yang ia lakukan sampai membuat wanita itu tak sadarkan diri. Ia tidak ingin, benar-benar tidak ingin membicarakan hal itu sekarang.
            "Tapi, gue lagi nggak di rumah," jawab Damian cepat.
            "Di mana? Gue ke sana sekarang," tanya Jack cepat. Ia sedang tidak ingin berbasa-basi, kalaupun pria itu sedang melampiaskan nafsunya pada para wanita simpanannya, Jack yakin Damian tidak akan membiarkan dirinya sendirian.
            "OK. OK. Gue lagi mau beli barang di mall dekat rumah gue. Kita ketemuan aja di restoran sushi yang biasa," jawab Damian cepat.
            "Great. Gue jalan sekarang," balas Jack cepat.
            Ia tahu temannya yang satu ini tidak akan membiarkannya merana ataupun sendirian. Persahabatan mereka sudah terjalin sejak mereka kecil, bahkan saat kejadian dengan Sasha menimpa dirinya, Damian adalah satu-satunya teman yang tidak pernah meninggalkan dirinya. Damianlah yang selalu mendukung dan mengatakan kalau kejadian itu bukanlah kesalahannya seorang dan seharusnya rasa salah itu ditanggung oleh teman-temannya yang lain juga.
            Jack melemparkan handuk kecil itu ke tempat tidur, lalu berjalan menuju lemari pakaian. Tanpa banyak memilih, ia mengambil polo shirt warna putih, celana panjang kasual berwarna cokelat berbahan katun yang terlihat sempurna saat ia kenakan, dan sepatu santai berwarna putih. Setelah mengenakan pakaian dan jam tangan yang selalu menghiasi pergelangan tangannya, ia langsung keluar kamar dan turun ke lantai dasar di mana mobil sudah menunggu kedatangannya.
            "Saya bawa sendiri," kata Jack pada supirnya yang langsung memberikan kunci mobil pada Jack.
            Ia pun melajukan mobil meninggalkan rumahnya yang megah dengan taman bunga yang tertata rapi.
∞∞∞∞∞
            "Lo. Gila. Asli, lo gila, Tam!" protes Clara geram saat mereka bertemu di salah satu toko pakaian yang ada di mall.
            "Why?" tanya Tamara dengan wajah polos yang dibuat-buat.
            "Dia udah punya bini. Lo mau jodohin gue sama dia? Lo mau bikin gue jadi simpanan dia? Lo gila, Tam!" protes Clara semakin histeris. Giginya gemeretak menahan amarah. Ingin sekali rasanya ia pulang ke apartemen dan meninggalkan temannya itu. Tapi, bukan Clara namanya kalau ia akhirnya mengalah dan mencoba untuk memendam rasa kesalnya sendiri.
            Di seberang sana, masih dalam satu toko, Pak Timothy terlihat sedang asik memilih baju di lorong pakaian pria. Clara melirik sesekali dan terpaksa melemparkan senyum ramah pada Pak Timothy yang ternyata selalu memerhatikannya dari jauh. Clara merasa risih, tapi – lagi dan lagi – ia mencoba menahan rasa risihnya tersebut hanya  karena pria itu sudah mengantarkannya ke tempat ini. Clara kembali melemparkan tatapan marah ke Tamara yang terlihat begitu santai memilih-milih baju.
            "Lo jangan negative thinking dulu, Ra. Gue sama sekali nggak ada rencana jodohin lo sama dia," sanggah Tamara santai sementara tangan dan matanya masih terus mengamati barisan pakaian yang tergantung di etelase.
            "Terus, apa maksud lo ninggalin gue sama dia berduaan di resto?" tanya Clara menuntut penjelasan.
            "Karena gue ketemu temen SMA gue. Tuh, orangnya," jawab Tamara masih dengan gaya santai sambil menunjuk ke arah seorang pria yang juga sibuk memilih pakaian.
            "Bullshit. Itu mah bisa-bisaan lo aja," tolak Clara.
            "Ya, sorry deh, Ra. Beneran, gue nggak ada maksud begitu," bujuk Tamara, mengelus punggung Clara seakan mencoba meredam kekesalan yang saat ini berdiam di dalam dadanya.
            Clara masih terus menggerutu dan merasa kesal. Ia melirik ke jam tangannya. Sekarang hampir jam tiga sore dan Clara sudah mulai bosan. "Masih lama?" tanya Clara tidak sabaran.
            "Sebentar lagi," jawab Tamara. Wanita itu pun mulai mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan membalas sebuah pesan.
            Beberapa menit kemudian, Tamara menarik salah satu gaun berwarna ungu dan membawanya ke depan kasir. Clara menunggu Tamara di dekat salah satu manekin yang sangat cantik dan pandangannya pun tertuju pada Pak Timothy yang juga ikut mengantri di kasir. Clara masih tidak percaya kalau Tamara tidak mengatur pertemuan ini dan ia yakin sekali ada sesuatu di balik semuannya.
            "Sudah jam tiga, nih. Kita langsung ke atas, nunggu di sana aja, yuk," ajak Tamara dengan senyumnya yang cantik.
            Pria, yang kata Tamara merupakan teman SMA-nya, mengikuti ke mana mereka pergi. "Dia ikut nonton juga?" bisik Clara ingin tahu.
            Tamara menganggukkan kepala dengan cepat. "Dia yang bayarin. Tenang aja," jawab Tamara sedikit berbisik.
            "Terus ngapain Pak Timothy juga ikut?" tanya Clara mulai merasa risih dengan kehadiran Pak Timothy yang masih mengintilinya.
            "Dia bilang mau ikut nonton juga," jelas Tamara dengan santai.
            Clara mendengus kencang. "Masih mau bilang kalau ini bukan rencana lo?" tuduh Clara cepat.
            "Sudah ... nikmati aja," bujuk Tamara sambil menggandeng tangan Clara sementara kedua pria itu berjalan di belakang mereka seperti ekor.
            Mereka pun tiba di lantai paling atas dan langsung berjalan menuju area bioskop. Warna hitam, merah, dan cokelat yang berpadu dengan sempurna membuat tempat itu terasa begitu nyaman. Clara dan Tamara sedang duduk di kursi yang mengitari sebuah meja bundar, sedangkan Pak Timothy dan teman SMA Tamara sedang mengantri di tempat pembelian snack.
            Tak lama kemudian, kedua pria itu datang menghampiri mereka. Pak Timothy langsung duduk di samping kiri Clara. Ia bergerak sedikit ke arah Tamara yang ada di kanannya, berusaha menjaga jarak. "Ini untukmu," kata Pak Timothy lembut sambil menyodorkan segelas minuman dan satu bungkus popcorn ke hadapan Clara.
            "Terima kasih," sambut Clara dengan senyum terpaksa.
            Clara hanya terdiam dan mendengarkan Tamara yang sedang asik berbincang dengan temannya. Pak Timothy terlihat sedikit sibuk membalas pesan dan beberapa panggilan yang masuk. Clara pun mulai mencari kesibukan dengan ponselnya.
            Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore dan mereka mulai beranjak menuju sebuah pintu yag mengarah ke sebuah ruangan dengan ratusan kursi berwarna merah.  "Pokoknya, gue nggak mau duduk dekat dia!" ucap Clara sedikit memberik penekannan pada Tamara.
            "Up to you," jawab Tamara dengan senyum menggoda.
            Baru saja mereka berjalan beberapa langkah, seorang pria menyenggol bahu Clara dengan sangat kencang. Pria itu sepertinya terlalu asik dengan wanitanya hingga tak melihat Clara yang sedang berjalan di sampingnya. "Auch!" keluh Clara.
            Bungkus popcorn-nya terlepas dari genggamannya dan terjatuh hingga seluruh isinya berserakan di lantai.
            Sial!
∞∞∞∞∞
            Jack memarkirkan mobilnya dan segera masuk ke mall. Ia pun langsung berjalan menuju restoran Sushi. Jack mengirimkan pesan ke Damien, memberitahu kalau ia sudah tiba dan sedang menuju ke restoran Sushi.
            Damian langsung membalas pesannya. 'Gue di bioskop. Ke sini aja.'
            Jack menggelengkan kepala, temannya yang satu ini memang paling senang memanjakan para wanitanya. Makanya tak ada satu pun wanita yang mampu menolak pesona dan kekayaan Damian.
            Pintu lift terbuka lebar dan ia pun segera masuk menuju lantai paling atas. "Di mana?" tanya Jack saat ia tiba di lantai atas dan berjalan menuju area bioskop.
            "Di meja tengah, depan studio tiga," jawab Damian di balik ponsel.
            Ia langsung memutuskan pembicaraan, lalu berjalan menuju area meja. Jack melemparkan pandangan ke barisan meja bundar yang terisi oleh beberapa orang. Matanya tertuju pada sosok pria yang begitu ia kenal. Damian sedang tertawa dengan dua wanita yang duduk mengapit pria itu.
            Jack bisa melihat tangan Damian yang menggenggam tangan seorang wanita berambut panjang. "Hei!" teriak Damian saat melihat kedatangan Jack.
            Ia pun langsung menghampiri meja itu dan kedua wanita yang mengapit Damian langsung melemparkan pandangan menyelidik. "Gue udah beliin tiket. Lo temenin gue nonton, ya," ajak Damian.
            "Mereka kurang?" tanya Jack sinis, tatapannya meneliti kedua wanita yang duduk memerhatikan dirinya.
            "Oh, come on. I know you'll like it," bujuk Damian sambil memainkan alis matanya.
            "Like it or like them?" tanya Jack lagi semakin sinis.
            "Stop talking. Filmnya udah mau mulai," sanggah Damian seraya beranjak dari kursinya.
            Kedua wanita itu pun mengikuti Damian. "She is yours," kata Damian sambil menyodorkan wanita itu pada Jack.
            Jack meneliti wanita itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Really?" tanya Jack, bukan dengan nada antusias, tapi lebih ke nada mengejek.
            "Come on," ajak Damian sambil melingkarkan tangan ke pinggang wanitanya.
            Wanita yang Damian sodorkan padanya pun mulai mendekati tubuh Jack dan tanpa rasa ragu sedikit pun, wanita itu mulai menggandeng dan bergelayut manja di tangan Jack. Ia merasa sesuatu yang aneh dalam dirinya seakan memberontak dan ingin pergi dari tempat itu, tapi di sisi lain ia tidak ingin menyia-nyiakan wanita yang menyodorkan tubuh begitu saja padanya.
            Ini hari kedua di mana ia sama sekali belum melepaskan gairah dalam dirinya dan ia berharap setidaknya ia bisa merasakan tubuh wanita ini. Kesempatannya semalam terbuang begitu saja, padahal Jack sadar jika saat itu ia mampu menikmati tubuh Clara.
            Tapi, entah kenapa sesuatu dalam dirinya seperti menolak. Ia tahu kalau tubuh Clara mungkin pasti mengembalikan semangat dan gairahnya, karena hanya dengan merasakan bibir lembut itu mampu membuat Jack tenggelam. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk membawa Clara kembali ke apartemen. Jack langsung menghubungi Triam dan menyuruh wanita paruh baya itu untuk mengurus Clara.
            Setelah ia meletakkan Clara di tempat tidur, Jack langsung keluar dari apartemen kecil itu dan membiarkan Triam untuk mengurus semuanya. Ya, ia tahu kalau ia sudah membuang kesempatan emas itu. Biarlah, batin Jack berkali-kali setiap mengingat kejadian itu.
            Jack berjalan di belakang, mengikuti langkah Damian. Temannya itu terlihat begitu senang, wanita di sampingnya pun terlihat begitu bergairah hingga membuat tubuh Damian tak seimbang.
            "Auch!" teriak wanita yang tak sengaja tersenggol oleh Damian.
            Mata Jack tertuju pada hamparan popcorn yang berserakan di lantai, lalu menoleh ke arah si wanita yang tersenggol. Rambut itu, suara itu, bahkan aroma lavender yang begitu khas membuat Jack terdiam.
            "Clara?" panggil Jack tak percaya.
            Wanita itu langsung menoleh ke arahnya dan mata hitam pekat itu pun menatapnya. Jack bisa melihat rona merah yang langsung mewarnai pipi Clara. Bibir itu terbuka lebar, terkejut melihat kehadiran Jack di tempat itu.
            "Mr. Golden?" ucap Clara tak percaya.
            Jack berusaha keras untuk menjaga wibawa dan mukanya di depan Clara. Ia berharap wanita itu tidak mengingat kejadian semalam. "Sorry, sorry, sorry. Saya akan ganti popcorn-nya," ucap Damian merasa bersalah.
            "Tidak perlu. Saya bisa membelinya lagi," jawab seorang pria yang berdiri di samping Clara, dengan sinis.
            Mata Jack meneliti pria itu dalam diam. Clara, yang terlihat gugup, ditarik dengan lembut oleh pria itu. Clara pergi dari hadapannya dengan wajah tertunduk malu. Ingin sekali ia menahan langkah wanita itu, bertanya siapa pria itu dan apa hubungannya dengan Clara. Tapi, bukan Jack namanya jika ia tidak bisa menjaga harga diri dan kesombongannya.
            Baginya, apapun yang wanita itu lakukan, dengan siapa wanita itu pergi, dan apa hubungan mereka, itu bukan urusannya. Jack membuang pandangannya dan kembali melangkah menuju sebuah ruangan, membiarkan Clara bersama pria asing tersebut di tempat pembelian snack.
            I don't care.

∞∞∞∞∞

BEAUTIFUL MADNESS (21+) - BAB 7



BAB 7

            Mata Clara mengerjap-ngerjap menyesuaikan cahaya lampu yang terasa menusuk matanya. Tubuhnya terasa nyaman, tapi kepalanya terasa sedikit pusing. Clara mencoba mengamati sekitarnya dan langsung terduduk di atas tempat tidur. Clara memerhatikan sekelilingnya dan menyadari kalau saat ini ia berada di kamar tidurnya.
            Clara menundukkan kepala dan melihat tubuhnya yang sudah berganti menjadi pakaian rumah. Matanya pun terbelalak dan takut. Ya, Tuhan. Apa Mr. Golden yang gantiin bajuku? tanya Clara panik. Clara memeluk tubuhnya yang mulai terasa dingin dan mencoba mengingat kembali apa yang terjadi pada dirinya. Ia berusaha keras untuk mengingat, tapi yang ia ingat hanya saat-saat di mana Mr. Golden memaksanya untuk minum minuman yang terasa sangat memabukkan.
            Clara turun dari tempat tidur, lalu berjalan keluar dari ruang tidurnya. Apartemennya yang tidak terlalu besar namun tertata rapi adalah satu-satunya tempat tinggal yang ia miliki. Satu-satunya harta yang ayah tinggalkan untuknya. Clara berjalan menuju pintu apartemen dan memeriksanya. Pintu itu masih terkunci.
            Clara tidak tahu bagaimana caranya ia kembali ke apartemen ini atau apa yang sudah Mr. Golden lakukan padanya. Ia benar-benar tidak ingat.
            Ia pun memeriksa kamar tidur yang satunya. Perlahan-lahan ia membuka pintu kamar tidur yang berada di sebelah kamar tidurnya. Tapi tetap saja ia tidak menemukan siapapun atau lebih tepatnya ia sangat berharap menemukan Mr. Golden di ruangan itu. Clara menutup pintu kamar itu, lalu berjalan menuju kamar tidurnya. Matanya langsung tertuju pada jam dinding di kamarnya.
            "Astaga! sudah jam setengah sembilan," ucap Clara histeris.
            Dengan cepat ia melangkah menuju kamar mandi, menanggalkan pakaiannya, dan mandi secepat kilat. Setelah mandi, Clara mengambil pakaian kerjanya yang hanya berupa kemeja lengan pendek berwarna hijau toska, celana bahan berwarna hitam, dan sepatu heels berwarna senada.
            Clara memoles wajahnya dengan riasan sederhana dan berharap ia memiliki waktu untuk kembali merias wajahnya lagi saat tiba di kantor. Rambutnya sengaja ia ikat kuncir kuda karena ia sudah tidak memiliki waktu lagi untuk merapikan atau mempercantik rambutnya. Clara sedikit kelabakan saat mencari tas kerjanya karena ia sama sekali tidak membawa tas itu saat ia makan malam dengan Mr. Golden.
            Meskipun rasa lega meliputi hatinya saat melihat tas kerjanya yang tergeletak begitu saja di atas meja makannya, tetap saja rasa penasaran dan bingung mulai melanda dirinya. Ia semakin yakin kalau Mr. Golden yang mengantarnya ke apartemen dan mengganti pakaiannya, serta meletakkan barang-barangnya. Wajah Clara mulai merona membayangkan Mr. Golden yang dengan leluasa mengganti pakaiannya.
            Dengan cepat Clara menggelengkan kepala dan menghapus pikiran kotor itu. "Kerja, Ra. Kerja," ucap Clara pada dirinya sendiri, berusaha keras menjaga kewarasannya.
            Clara melangkah menuju pintu, membukanya, lalu mengunci pintu apartemennya sebelum melangkah cepat menuju pintu lift. Untung sekali pintu lift langsung terbuka, ia pun segera masuk, dan menekan tombol lantai dasar.
            Ponselnya berbunyi dengan sangat keras, mengejutkan dirinya yang terlalu serius memandangi layar angka lift. Ia mengabaikan panggilan itu dan langsung melangkah keluar saat pintu lift terbuka. "Selamat pagi, Mba Clara," sapa si satpam apartemen yang menatapnya dengan pandangan aneh dan bingung. Clara mencoba untuk tidak menggubris pandangan itu, hanya melemparkan senyum ramah yang biasa ia lakukan setiap hari.
            Suara ponselnya berdering lagi, Clara langsung mengeluarkannya dari tas kerja, lalu melihat siapa si penelepon yang begitu ingin sekali berbicara dengannya.
            "Apa, Tam?" sahut Clara cepat.
            "Siang ini lo ada kegiatan nggak?" tanya Tamara dengan suaranya yang riang.
            "Gue 'kan kerja, Tam. Jangan aneh-aneh, deh," tolak Clara sambil berjalan melalui pintu apartemen.
            "Lo kerja?" tanya Tamara bingung dengan jawaban Clara.
            "Emang lo nggak kerja? Lo ijin lagi?" tanya Clara sedikit berlari menunju gerbang apartemen. Ia pun berhenti di depan gerbang dengan napasnya terengah-engah dan mulai panik karena karena tak ada satu pun taksi di sana.
            "Hah?? Ini 'kan hari Minggu, Ra. Emang lo kerja juga hari ini?" tanya Tamara.
            Seakan diguyur oleh seember air es, Clara berdiri kaku dan terlihat seperti orang paling bodoh sedunia. "Hari Minggu?" ulang Clara bingung, masih mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah.
            "Astaga ... jangan bilang lo sekarang lagi berdiri di depan gerbang sambil nyari taksi," tebak Tamara yang tepat sasaran.
            Clara tidak menjawab pernyataan itu dan mulai tertunduk malu. Pantas saja tadi satpam itu kebingungan melihatku terburu-buru, gerutu Clara dan wajahnya seketika merona merah.
            "Hahahaha." Terdengar suara tawa kencang dari seberang sana. Clara bisa membayangkan betapa bahagianya Tamara saat ini dan ia tahu sekali bagaimana ekspresi temannya yang satu itu.
            Setelah puas menertawai Clara, akhirnya Tamara berhenti meski sesekali terdengar suara tawa yang berusaha ditahan oleh wanita itu. "Gue jemput sekarang, deh. Daripada lo balik lagi ke apartemen," ucap Tamara menawarkan bantuan.
            "Mau ke mana?" tanya Clara cepat.
            "Temenin gue jalan-jalan," jawab Tamara santai.
            "Baiklah. Gue tunggu di taman apartemen, ya. Jangan lama-lama," pesan Clara.
            "OK. Gue meluncur sekarang," jawab Tamara sebelum memutuskan pembicaraan mereka.
            Clara memasukkan ponsel ke dalam tas kerjanya, lalu memutar badannya, dan berjalan menuju taman apartemen yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.
            Hah ... ada-ada saja, batin Clara.
∞∞∞∞∞
            Matahari mulai terasa terik, Jack keluar dari kolam renang pribadinya, kemudian berjalan menuju meja kecil berwarna putih yang ada di samping kursi panjang berwarna senada. Jack mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja itu, lalu mengusap layarnya, dan melihat tak ada satupun pesan atau panggilan masuk untuknya. Jack berdiri gelisah sambil memandangi layar ponselnya.
            Pagi tadi, ia bangun dengan keadaan gelisah. Bayangan akan kelembutan bibir Clara saat menyentuh bibirnya seakan membuat Jack tidak bisa mengontrol pikirannya. Ia tidak tahu kenapa bayangan itu terus mengisi pikirannya. Jack tidak menyangka begitu besar pengaruh bibir itu terhadapnya. Entah sudah berapa bibir wanita ia rasakan, tapi saat ia mengulum  bibir itu sebuah sengatan nikmat membuat dirinya melayang.
            Setelah sarapan, Jack memutuskan untuk berenang, bukan sekedar berolah raga tapi juga untuk menjernihkan pikirannya yang terus memutar kejadian semalam. Pikirannya pun dipenuhi oleh rencananya agar bisa bertemu dengan Sasha. Dan saat ini, Jack sedang menunggu laporan dari Alfons.
            Jack duduk di kursi panjang, meneguk segelas perasan jus jeruk murni yang terasa segar di bawah teriknya matahari. Kemudian Jack merebahkan tubuhnya, memejamkan mata dan parahnya ingatan akan bibir Clara kembali teringat.
            Setelah menunggu dengan penuh kesabaran, akhirnya ponsel itu pun berdering. "Bagaimana?" tanya Jack cepat tanpa basa-basi.
            "Saya sudah berbicara dengan wanita bernama Desi. Ia mengatakan kalau Sasha masih berada di Bali mengurus sebuah pernikahan. Rencananya Sasha akan kembali malam ini, Sir," jawab Alfons dari seberang sana.
            "Kau punya nomor ponselnya?" tanya Jack.
            "Ada, Sir," jawab pria itu cepat.
            "Hubungi Sasha dan minta secara langsung agar wanita itu menangani acara kita. Jangan sampai salah bicara dan pastikan wanita itu yang datang, bukan yang lain," perintah Jack.
            "OK, Sir," sahut Alfons cepat.
            "Saya tunggu laporanmu secepatnya," ucap Jack sebelum ia memutuskan panggilan itu.
            Jack meletakkan ponselnya kembali di meja lalu mengambil handuk besar berwarna merah yang terasa begitu lembut menyentuh kulitnya. Jack beranjak dari kursi, lalu melingkarkan handuk tersebut di pinggangnya setelah ia mengeringkan tubuhnya. Kemudian ia berjalan masuk ke dalam rumahnya, berencana untuk menemui Damian siang ini.
            "Triam, siapkan mobil. Saya mau keluar," perintah Jack pada Triam yang baru saja keluar dari ruang dapur.
            "Baik, Mr. Golden," jawab Triam patuh.
            Jack berjalan menuju lantai dua, segera masuk ke kamarnya, lalu menuju kamar mandi, dan memutuskan untuk berendam sejenak di bathtube.
∞∞∞∞∞
            "Gimana lembur kemarin? Emang kerjaan lo banyak banget, ya?" tanya Tamara yang duduk tepat di seberang Clara.
            Mereka sedang asik menikmati sarapan yang terlambat di salah satu restoran cepat saji. Mendengar pertanyaan Tamara membuat Clara kehilangan nafsu makannya. "Lumayan," jawab Clara singkat mencoba untuk terlihat santai, meskipun sebenarnya ia masih bertanya-tanya bagaimana kejadian yang sebenarnya. Ingin rasanya ia menghubungi Mr. Golden dan bertanya pada pria itu. Tapi, ia tidak berani karena Clara tidak ingin dianggap sebgai wanita yang berprasangka buruk pada atasannya.
            "Bos lo galak, ya? Kok sampai segitunya nyuruh lo lembur," tanya Tamara sedikit protes.
            Clara mengangkat bahunya, tidak menjawab pertanyaan itu dengan jelas. Saat ini ia tidak ingin membicarakan tentang Mr. Golden. Clara mencoba untuk melupakan apa yang terjadi semalam, meskipun sebenarnya ia tidak terlalu ingat apa yang sudah terjadi. Clara memasukkan makanannya dengan malas, lalu mengunyahnya begitu saja.
            "Kok lo ogah-ogahan gitu, sih? Ada masalah?" tanya Tamara penasaran.
            "Nggak ada, Tam. Gue lagi nggak enak badan aja," jawab Clara lemas.
            "Lo sakit?" tanya Tamara yang langsung menekankan punggung tangannya ke dahi Clara.
            "Nggak panas, kok," lanjut Tamara.
            "Gue nggak kenapa-kenapa. Gue cuma malas aja hari ini," jawab Clara jujur.
            "Oh, iya. Jam satu nanti mantan bos lo ngundang beberapa karyawan makan siang di restoran. Katanya sih mau ngomongin acara family gathering yang akan diadakan bulan depan," jelas Tamara.
            "Terus apa hubungannya sama gue? 'Kan gue nggak kerja di situ lagi," protes Clara.
            "Nggak ada hubungannya sama lo. Gue cuma minta lo buat temenin gue, karena gue kudu hadir di sana. Wajib soalnya," jelas Tamara dengan wajah sedikit memelas.
            "Ini bukan cara lo buat ketemuin gue sama dia, kan?" tanya Clara cepat karena ia tahu temannya yang satu ini begitu bersemangat untuk menjodohkannya dengan mantan atasannya yang sebenarnya sudah memiliki seorang istri.
            "Nggak kok," sanggah Tamara cepat.
            Clara memicingkan matanya, berusaha mencari kebohongan di wajah temannya itu. Hembusan napas panjang menandakan betapa pasrahnya Clara terhadap rencana gila yang mungkin ada dalam pikiran Tamara. "OK, gue ikut. Tapi, gue mau ganti baju dulu, udah sedikit keringetan soalnya. Ini acaranya formal atau santai?" tanya Clara pasrah.
            "Nggak terlalu formal, sih. Rencananya gue cuma pakai baju semi formal supaya selesai acara kita bisa langsung nonton film," jawab Tamara santai.
            "Oh, iya. Film yang waktu itu lo bilang udah keluar kemarin, ya?" tanya Clara.
            "Iya. Dan lo harus ikut gue nonton. Gue jamin film nya pasti seru," ajak Tamara sedikit memaksa.
            "OK. OK," jawab Clara.
            Mereka pun kembali menikmati sarapan mereka dan segera menghabiskannya.
∞∞∞∞∞
            Clara mengenakan kemeja putih berlengan tiga per empat dan rok pensil berwarna cokelat muda yang melekat indah dengan potongan setengah paha. Ia menggerai rambutnya dan memoleskan riasan sederhana. Sepatu heels berwarna cokelat muda menyempurnakan penampilannya.
            Tamara, yang sudah siap dengan penampilannya yang sempurna, membuat Clara sedikit minder. Tapi dengan cepat ia menepis rasa itu dan menghampiri temannya yang sedang duduk santai sambil menonton TV di ruang tamunya. Tamara menoleh ke arah Clara saat ia keluar dari kamar.
            "Kenapa lo harus terlihat cantik tanpa harus berdandan lebih?" puji Tamara yang langsung beranjak dari sofa minimalis berwarna hitam, mematikan TV, dan meletakkan remote control di sofa begitu saja.
            "Lebay lo, Tam," sanggah Clara dengan rona merah yang mulai mewarnai pipinya.
            "Gue yakin si tampan bakalan terpesona," puji Tamara lagi.
            Clara mendengus dan melemparkan tatapan sinis ke arah temannya itu. "Gue ke sana buat nemenin lo, ya. Bukan buat ketemuan sama dia," jelas Clara cepat. Ia tidak ingin terjadi sebuah kesalahpahaman, terutama dengan status mantan atasannya yang sudah memiliki seorang istri.
            "Ya, ya, ya. Pokoknya lo perfect," puji Tamara sambil menggandeng tangan Clara dengan manja.
            Clara melirik tajam ke arah Tamara dan berpikir bahwa ini hanyalah salah satu rencana busuk Tamara untuk membujuknya kembali ke kantornya yang dulu. Atau jangan-jangan mereka berdua sudah merencanakan hal ini? pikir Clara sambil berjalan keluar dari apartemen kecilnya. Mereka masuk ke dalam lift yang langsung membawa mereka ke lantai dasar.
            "Siang, Mba Clara," sapa satpam apartemen dengan senyum merekah.
            Clara membalas senyum itu dan melenggang begitu saja. "Tuh, kan. Apa gue bilang? Lo cantik -"
            "Dia tiap hari dia emang nyapa setiap pemilik apartemen seperti itu. Nggak usah lebay, deh!" gerutu Clara sambil menarik tangan Tamara agar bergerak lebih cepat menuju mobil yang terparkir di lahan parkir apartemen.
∞∞∞∞∞
            Acara makan siang itu berjalan lancar. Clara, yang tadinya berencana untuk duduk di meja yang terpisah, terpaksa duduk di meja panjang bersama dengan beberapa orang yang sudah ia kenal. Mereka benar-benar membahas acara family gathering, tidak seperti apa yang sebelumnya Clara pikirkan. Pak Timothy, mantan atasannya, terlihat senang saat melihat kehadiran Clara di restoran itu. Senyumnya yang khas dan sifat ramah yang selalu pria itu berikan pada setiap karyawannya tidak pernah lepas dari diri Pak Timothy.
            Clara duduk di samping Tamara, sedangkan Pak Timothy duduk tepat di seberangnya. Clara mencoba dengan sangat kuat untuk tidak menggubris lirikan ataupun tatapan hangat yang pria itu berikan padanya. Clara mencoba mengalihkan perhatiannya dari pembicaraan rencana acara itu sambil bermain dengan ponselnya. Sesekali Clara mendengar Pak Timothy yang berbicara menginterupsi pembicaraan dan memberikan beberapa masukan untuk acara tersebut.
            "Gue ke toilet bentar, ya," bisik Tamara setelah rapat itu diakhiri.
            Clara mengangguk dan tetap duduk di kursinya sambil menunggu Tamara. Seakan berusaha memanfaatkan kesempatan, Pak Timothy langsung menghampiri Clara dan duduk di kursi Tamara. "Apa kabarmu, Clara?" tanya Pak Timothy berbasa-basi.
            "Baik, Pak," jawab Clara ramah.
            "Timothy saja. Kamu 'kan sudah nggak kerja sama aku lagi," ucap pria itu dengan senyum merekah. Clara sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini atau apa yang mungkin ada di dalam pikiran pria ini. Clara mulai gelisah di kursinya dan berharap Tamara segera kembali, tapi sepertinya wanita itu sengaja berlama-lama di toilet dan memberikan waktu buat Pak Timothy agar bisa berbicara berduaan saja dengannya.
            "Kamu ada acara habis dari sini?" tanya Pak Timothy.
            "Ada, Pak," jawab Clara singkat.
            "Ke mana?" tanya Pak Timothy ingin tahu.
            "Em ... itu ... kami mau nonton," jawab Clara terlalu polos.
            "Aku boleh ikut?" tanya Pak Timothy menawarkan diri.
            "Gimana, ya?" jawab Clara ragu.
            Ia ingin sekali menolak pria itu, tapi Clara tidak ingin melukai perasaan Pak Timothy. Setidaknya pria ini pernah menjadi atasannya selama dua tahun. Clara menoleh ke arah di mana Tamara menghilang dengan alasan pergi ke toilet dan berharap wanita itu mulai menunjukkan batang hidungnya. 
            "Bagaimana di kantormu yang baru? Apa kamu nyaman?" tanya Pak Timothy.
            "Nyaman, Pak," jawab Clara berbohong.
            "Timothy saja. Jangan pakai 'Pak'. Aku nggak terlalu suka," sanggah Pak Timothy.
            Clara tidak menolak ataupun menerima ucapan itu. Ia berusaha menganggap kalau apa yang pria itu ucapkan hanya sekedar sikap santai dan ingin berteman. Dia ini sudah punya istri, mana mungkin dia berharap lebih dariku? pikir Clara, masih dengan sikap tenangnya.
            Tamara benar-benar lama, entah apa yang wanita itu lakukan sampai harus berlama-lama di toilet. Tiba-tiba ponsel Clara bergetar dan dengan cepat ia mengusap layar ponselnya, membaca sebuah pesan yang masuk dari Tamara.
            'Sorry, Ra. Tadi gue ketemuan sama teman SMA terus keasikan ngobrol. Kita ketemuan di mall sebelah, ya. Tiketnya udah gue beli, nonton jam setengah empat. Jangan lama-lama, ya,'
            Clara mendengus kesal setelah membaca pesan itu. Jadi ini memang rencana mereka berdua, ya, gerutu Clara kesal.
            "Kenapa, Clara?" tanya Pak Timothy dengan lembut.
            "Oh, nggak kenapa-kenapa," jawab Clara sambil memasukkan ponsel ke tas tangannya.
            "Saya pamit dulu ya, Pak," ucap Clara seraya beranjak dari kursinya.
            "Mau ke mana?" tanya Pak Timothy ikut beranjak dari kursi.
            "Ke mall sebelah, Pak. Ada janji sama seseorang," jawab Clara lagi dengan kepolosannya yang luar biasa.
            "Aku ikut, ya. Sekalian mau beli sesuatu," kata Pak Timothy.
            Clara tidak bisa menolak lagi. Mereka pun keluar dari restoran dan berjalan menuju mobil Pak Timothy yang terparkir tidak jauh dari restoran. Ini semua gara-gara Tamara. Lihat saja nanti, gerutu Clara yang terpaksa masuk mobil Pak Timothy.
∞∞∞∞∞